Rabu, 23 Desember 2009

artikel perilaku konsumen(tugas 3)

Keunggulan Tersembunyi Coca-Cola

Nama besar dan keberhasilan bisnis Coca-Cola ditunjang oleh kehebatan sistem distribusinya. Di dalamnya, TI berperan vital.

Siapa tak kenal Coca-Cola? Siapa pula berani meragukan sukses penetrasinya di berbagai negara, termasuk di Indonesia? Sepetinya tak ada. Namun, mengenai faktor kunci sukses yang menjadikannya pemimpin pasar di bisnis minuman berkarbonasi (carbonated soft drink/CSD), sebagian kalangan, termasuk pengamat bisnis sekalipun, masih banyak yang salah baca. Mereka menilai produk-produk The Coca-Cola Company (Sprite, Fanta, Coca-Cola, dan lain-lain), bisa tampil dominan dan mengalahkan seteru bebuyutannya Pepsi karena faktor rasa (produk). Betulkah begitu? Ternyata kesimpulan ini bisa menyesatkan. Buktinya, dalam beberapa kali blind test -- tes cicip rasa dengan tidak menunjukkan merek produknya -- Pepsi justru lebih banyah dipilih ketimbang Coca-Cola. Lalu kenapa dalam realitasnya Coca-Cola memenangi persaingan dari Pepsi? Hanya dua faktornya: merek dan kekuatan distribusi.

Kekuatan merek Coca-Cola tak perlu dibahas lagi. Banyak yang tahu saat ini Coca-Cola merupakan merek yang paling mahal (most valuable brand) di dunia. Hanya saja, kekuatan dari sisi distribusi, belum banyak yang tahu. Rahasia keunggulan distribusinya tak lain sistem teknologi informasi (TI) yang digunakannya, seperti bisa kita simak di PT Coca-Cola Amatil Indonesia (CCAI).

Salah satu contoh aplikasi yang sukses di jalankan perusahaan multinasional itu, yakni sistem Strategic Route Planning (SRP). Pihak CCAI mengklaim di Indonesia belum ada perusahaan yang menerapkan SRP.

Sederhananya, SRP merupakan solusi TI yang memungkinkan perusahaan merumuskan strategi routing secara tepat. Misalnya, sebuah area dengan jumlah penduduk tertentu sebaiknya dilayani dengan berapa armada, bagaimana jalur masing-masing armada agar lebih efisien dan efektif, wilayah mana yang masih kosong dan bisa dipenetrasi oleh wiraniaga (salesman) CCAI, dan sebagainya. Semua itu bisa diketahui dari SRP yang serba terkomputerisasi. Singkatnya, ini merupakan sistem aplikasi yang bisa memproses digital mapping distribusi produk-produk Cola-Cola.

Bagi perusahaan penjualan (sales company) seperti CCAI, SRP jelas sangat dibutuhkan dalam proses bisnisnya. Ini diakui Deborah Intan Nova, Manajer Sistem Informasi Nasional & Teknologi CCAI. Eksekutif yang punya nama panggilan Debbie ini lebih jauh menjelaskan, ada empat tujuan implementasi TI di CCAI. Pertama, meningkatkan pendapatan (revenue generation). Kedua, meningkatkan pelayanan pelanggan. Ketiga, mengelola atau meminimalkan biaya (efisiensi). Dan keempat, meningkatkan utilisasi aset --, truk, chiller, colddrink, dan lain-lain. "Cuma, fokus kami memang pada dua tujuan yang pertama," tutur Debbie yang sudah 9 tahun berkarier di lingkungan Coca-Cola.

Tentu saja, SRP hanya sebagian dari solusi TI yang telah diterapkan CCAI. Sekadar catatan, sejak lima tahun lalu, CCAI melakukan berbagai pembaruan dari sistem yang sebelumnya masih terserak. Saat itu pemanfaatan TI sangat jauh dari optimal. Memang telah banyak tersedia komputer (PC), tapi masing-masing berdiri sendiri alias belum terintegrasi dalam satu sistem yang memberikan nilai tambah. Padahal, di luar itu, CCAI dihadapkan pada tantangan berat. Persaingan di bisnis yang digeluti makin sengit -- tak hanya melawan sesama pemain CSD. Skala organisasi yang harus diintegrasikan juga cukup besar. Bayangkan, ketika proses integrasi sistem TI akan dimulai, jumlah PC-nya saja mencapai sekitar 2.000 unit -- di kantor pusat ataupun cabang. CCAI mempunyai 10 wilayah operasional dengan total 9.500 karyawan. Jumlah gerai yang ditangani sekitar 400 ribu, dan tiap hari tak kurang dari 50 ribu invoice yang harus diproses.

Sejak itu manajemen CCAI makin serius mengembangkan TI. Sebelum menerapkan berbagai aplikasi untuk masing-masing unit bisnis, CCAI lebih dahulu menyiapkan infrastukturnya, termasuk aplikasi korporat Enterprise Resource Planning (ERP). Di CCAI, pengembangan insfrastruktur disesuaikan dengan kebutuhan bisnis, kemudian mencari solusi terbaik yang memungkinkan. Untuk memenuhi kebutuhan sistem ERP itu, CCAI memilih tiga produk, yakni Oracle Express, Hyperion Essbase dan Margin Minder (dari Salient). Sejak awal manajemen CCAI tak ingin menggunakan software ERP dari satu vendor saja.

Oracle Express dipakai karena sebelumnya CCAI sudah menerapkan Oracle Solution sehingga pemilihannya dinilai paling masuk akal. Sementara Essbase dipilih karena dinilai cocok dan punya fleksibilitas dengan lingkungan bisnis yang dihadapi CCAI di Indonesia. Apalagi Essbase kompatibel dengan software Lotus Notes dan Oracle Business Solution yang sebelumnya sudah dimiliki CCAI. Bahkan, Essbase juga kompatibel dengan Microsoft Excel yang dipakai oleh banyak staf CCAI.

Nah, setelah infrastruktur ERP tersedia barulah dikembangkan solusi pendukung di masing-masing unit bisnis. Antara lain, solusi Business Intelligence (BI), SRP, BASIS (aplikasi khusus divisi penjualan & pemasaran yang dikembangkan sendiri), aplikasi inventori, dan lain-lain. Pendeknya, menurut Debbie, solusi yang diimplementasi, disesuaikan dengan kebutuhan unit-unit bisnis CCAI.

Dalam pengembangan sistem TI CCAI, Debbie tak menyangkal pihaknya menggunakan konsultan, baik multinasional maupun lokal. "Konsultan hanya kami pakai untuk proses deployment, sedangkan desain dan strateginya semua dirumuskan Divisi Sistem Informasi & Teknologi CCAI," tutur Debbie seraya menjelaskan tak selalu konsultan lokal lebih murah ketimbang asing. Baginya, yang terpenting justru bagaimana menyelaraskan antara kebutuhan unit-unit bisnis dengan kemampuan sumber daya TI yang dimiliki. "Ini lebih penting. Konsultan sih tergantung arahan kami," tuturnya.

Untuk urusan penyelarasan dengan kebutuhan bisnis ini, tampak sekali tim TI CCAI cukup serius. Dalam hal ini Divisi Sistem Informasi & Teknologi CCAI mengangkat tiga manajer solusi bisnis (MSB) yang masing-masing berhubungan dengan unit bisnis yang berbeda. "Tugas mereka menjalin hubungan dengan unit-unit bisnis yang ada di CCAI," Debbie menegaskan. Secara garis besar, unit bisnis di CCAI dikelompokkan menjadi tiga bagian (berdasarkan fungsi), yakni: penjualan & pemasaran; manufakturing & logistik; keuangan, general affairs & SDM. "Mereka berhubungan langsung dengan tim-tim tersebut. Perannya seperti konsultan internal,” papar Debbie. Nah, setiap MSB melakukan meeting reguler dengan unit bisnis yang membidangi tugasnya minimal sebulan sekali. Untuk menyampaikan pencapaian yang sudah dilakukan, ataupun mendata kebutuhan baru para user.

Kini, pemanfaatan TI di CCAI boleh dibilang relatif lebih maju dibanding kebanyakan perusahaan lain. "Terutama di bagian penjualan & pemasaran, sesuai dengan bisnis inti kami," ujar Debbie. Contohnya, wiraniaga CCAI yang tersebar di 120 Sales Centre (SC) di Indonesia, sekarang lebih mudah menjalankan tugasnya. Mereka dari waktu ke waktu tahu bagaimana posisi stok, beginning stock pagi hari dan ending stock di sore hari. Esoknya, ketika mereka tiba di kantor pukul 08.00 WIB, langsung mengetahui produk apa yang paling laku atau permintaannya paling bagus, mana yang stoknya menumpuk, channel atau pelanggan mana yang harus segera disuplai, pelanggan mana saja yang harus segera dicek posisi ordernya, dan sebagainya.

Singkatnya, aplikasi ini membantu para wiraniaga merencanakan kegiatan yang harus dilakukan. Dari situ mereka bisa tahu ada beberapa jenis produk plus jumlah unitnya yang harus ditambahkan pada gerai-gerai tertentu, mana yang kelebihan stok, sehingga harus disebar ke titik distribusi yang lain. Aplikasi ini juga bisa dipakai untuk menentukan taktik penjualan di tingkat gerai (bonus atau cara lainnya). Dalam skala yang lebih besar, aplikasi ini memudahkan pula mengontrol posisi persediaan produk di masing-masing depo secara real time di seluruh Indonesia. Bila posisi sebuah produk di depo (SC) ada yang menipis, bisa langsung mengorder ke pabrik (plant).

Tak salah, ini semua dimungkinkan karena setiap wiraniaga kembali ke kantor di sore hari, mereka diwajibkan mengentri data -- ke komputer yang sudah terintegrasi dalam sistem -- dari invoice transaksi yang mereka lakukan. Dari input data yang mereka lakukan kemudian diolah menjadi data yang matang oleh sistem, sehingga bisa dimanfaatkan buat mereka sendiri untuk keperluan pengambilan keputusan sehari-hari (day-to-day operation). "Mereka bisa lebih cepat mengeksekusi kegiatan apa yang bakal dilakukan setiap harinya," ujar wanita berusia 31 tahun ini. Di samping itu, hasil olahan data tadi dapat pula dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan pada tingkat strategis oleh manajemen atas dan menengah, melalui aplikasi BI.

Bahkan, khusus bagi para wiraniaga CCAI di wilayah Jabotabek, benefit yang mereka terima lebih banyak. Maklum, untuk mereka disediakan personal digital assistance (PDA) yang selalu disinkronisasi dengan data yang ada di sistem TI CCAI. Maka, seorang wiraniaga saat tidak berada di kantor pun bisa tahu posisi penjualan, stok dan order dari berbagai pelanggan yang menjadi tanggung jawabnya. Dan dari situ bisa cepat melakukan langkah antisipasi yang diperlukan. Contohnya, ketika sedang istirahat makan siang tiba-tiba di PDA muncul info bahwa Hero atau Matahari kekurangan stok produk tertentu, wiraniaga bisa langsung order ke SC agar segera dikirimkan produk ke dua supermarket itu. Memang, untuk berbagai kenyamanan dan kecepatan itu tak sedikit dana yang dikeluarkan CCAI, karena harus membelikan PDA buat para wiraniaga. Dapat dipahami, mengapa di tahun pertama baru wiraniaga di Jabotabek yang diberikan PDA -- meski jumlah wiraniaga CCAI di Jabotabek relatif paling besar sesuai dengan SC-nya yang juga paling banyak.

Sebenarnya, dari berbagai solusi yang sudah diimplementasi CCAI, yang paling unik memang aplikasi SRP. Selain aplikasi ini amat fundamental buat CCAI sebagai perusahaan penjualan & distribusi, SRP juga belum banyak diterapkan perusahaan lain di Indonesia. SRP memungkinkan perusahaan mengontrol penguasaan wilayah distribusi. Dengan mengimplementasi SRP, Coca-Cola bisa tahu semua wilayah distribusinya, misalnya daerah mana yang masih kosong, rute-rute mana yang masih bisa dikembangkan, dan mana saja yang harus dipenetrasi dengan tambahan armada atau eksekutif wiraniaga baru.

Menariknya, SRP ini bukan sekadar teknologi berbasis global positioning system (GPS) sebagaimana banyak dipakai perusahaan distribusi atau taksi. Kalau GPS sekadar untuk melihat atau memotret posisi sementara, SRP menggabungkan antara GPS dengan hitung-hitungan aritmatika. "GPS diperlukan untuk meng-capture letak atau lokasi masing-masing gerai. Dari situ kemudian dimasukkan ke dalam sistem SRP dan diolah untuk merumuskan pola kunjungan atau rute terbaik," tutur Debbie yang berlatar belakang pendidikan teknik industri itu. Dari SRP, manajemen mengetahui, misalnya bila CCAI punya 20 truk kanvas, rute mana saja yang paling efektif dan efisien yang harus dilewati masing-masing truk hingga tidak ada gerai yang terlewatkan. "Jangan sampai salesman mengendarai mobil lebih jauh dan mengunjugi banyak tempat, tapi secara total tingkat produktivitasnya rendah," ia menambahkan. SRP yang dipakai CCAI bernama Roadshow 2.0, dari vendor Descartes, perusahaan software asal Amerika Serikat. Kabarnya, mulai ada beberapa software house lokal yang mencoba membuat software sejenis, walaupun hingga kini belum terlihat di pasar.

Untuk menjalankan solusi SRP, bagian TI CCAI juga bekerja sama dengan penggunanya dari sisi unit bisnis yang juga dinamai Divisi SRP. Divisi ini bertugas khusus mencari pasar ceruk (niche market) baru dan terus memperbarui peta distribusi. Maka, jika ada kawasan perumahan baru yang tiba-tiba perlu dilayani, akan terpantau dari analisis tim SRP. Tim ini juga bertugas menyurvei kelayakan sekaligus langsung memetakan cara melayani suatu wilayah atau pasar baru (dengan bantuan solusi TI). Caranya, tim SRP menganalisis beban kerja tiap rute dan dicari cara yang paling mungkin untuk melayani. Alternatifnya, bisa dilayani dari salah satu rute di sekitarnya, atau bisa pula investasi truk baru. Pendeknya, tim SRP-lah yang secara rutin melakukan digital mapping terhadap distribusi produk-produk Coca-Cola, sehingga kemungkinan adanya pasar yang terlewatkan sangat kecil. Agaknya, inilah salah satu keunggulan pemasaran Coca-Cola yang yang belum dimiliki pemain lain.

Handri Wana, Manajer Sistem Layanan Nasional yang bertugas di Divisi Penjualan & Pemasaran CCAI, melihat keberadaan TI di CCAI amat membantu tugasnya sehari-hari. "Khususnya untuk mendapatkan visibilitas data hingga pada tingkatan yang kecil. Jadi saat ini data yang diberikan lebih detail dan lengkap dibanding sebelumnya ketika proses bisnis masih manual," tuturnya. Kini, ia juga mudah mengetahui apakah sebuah rute distribusi yang menjadi tanggung jawabnya efektif atau tidak, seberapa tinggi level efisiensinya, bagaimana perbandingan level efektivitasnya dari rute lain, dan sebagainya.

Sebelumnya data semacam itu bisa diperoleh, tapi menurut Handri tidak detail. Belum lagi prosesnya lama. Untuk memperoleh informasi berskala nasional, ia mesti mengonsolidasi data dari 10 cabang operasional CCAI. Ia mesti menanyakan satu per satu ke unit-unit bisnis yang ada di cabang itu. "Ada sih ada, tapi lama dan tidak bisa detail," ujarnya. Keberadaan SRP, diakui Handri, sangat membantu. "Karena tool itu merupakan cara paling efektif untuk membuat rute distribusi," katanya terkesan puas.

Selain solusi-solusi yang sudah disinggung, CCAI masih pula mengembangkan solusi lain. Misalnya, solusi inventori yang sangat membantu mengontrol persediaan bahan baku. Selain itu, CCAI juga mengembangkan aplikasi CRM via website yang telah beberapa kali memenangi penghargaan. Dari sistem di website itu juga ditampung semua masukan, termasuk komplain yang kemudian dikumpulkan dalam sistem, bersama masukan dan komplain yang datang melalui telepon dan petugas pelayanan pelanggan.

Hadi Barko, pengamat dan konsultan TI dari HB Consulting, melihat dari segi infrastruktur, TI CCAI memang sudah bagus, apalagi ini perusahaan multinasional. Namun demikian, ia menilai, yang lebih penting sebenarnya justru orangnya. "Bagaimana sikap orang-orang di perusahaan itu, apakah people-nya benar-benar mengoptimalkan keberadaan tool yang ada atau belum,” katanya. Ia mencontohkan, jika wiraniaga sudah dibekali PDA yang terkoneksi dalam sistem tapi justru jarang dipakai untuk tujuan itu, ya tidak optimal. Mantan Direktur TI di Avon Indonesia dan Reckitt Beckinser ini mencontohkan pengalamannya sendiri di perusahaan terdahulu, ketika sistemnya sudah tersedia, tapi ada hambatan pada karyawan yang memakainya secara minimal.

Hadi juga berpendapat, seharusnya kini merupakan saatnya CCAI membangun koneksi online dengan para mitra yang merupakan key account seperti Hero, Carrefour, dan lain-lain. "Seharusnya sistem TI mereka bisa langsung terhubung dengan sistem inventori para key account. Saya kira banyak pemain yang sudah melakukannya, terutama dengan modern channel. Sebab, ini merupakan pasar yang potensial dan kontribusinya besar, sehingga perlu ada treatment khusus,” ungkapnya. Pihak CCAI sendiri mengaku saat ini memang sudah terkoneksi online dengan para mitra kuncinya itu.

Menurut Hadi, ada baiknya manajemen CCAI juga mulai menjadikan TI sebagai peranti untuk pengembangan produk. Misalnya sebagai media untuk konsolidasi semua masukan, komplain, dan saran pengembangan produk. Ini bisa digabung dengan saluran telepon hotline kemudian diproses dengan sistem TI. "Saya kira itu akan membantu mereka dalam memenangi persaingan di Indonesia," ujar Mitra Pengelola HB Consulting ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar